Adil Tanpa Menghakimi
Rabu, 21 Oktober 2020
Add Comment
Kolom Gembala : Rm. Bernardus Indragraha, Pr
Beberapa bulan belakangan ini, dunia kembali menjumpai berbagai peristiwa ketidakadilan terhadap saudara-saudari yang lebih lemah. Tentu kita mendengar kasus George Floyd yang mengalami kekerasan bahkan pembunuhan oleh aparat keamanan. Uniknya, semua orang langsung menyalahkan para aparat keamanan dan menghakimi mereka sebagai pribadi-pribadi yang tidak menghargai kesetaraan gender.
Akibatnya banyak demo yang terjadi dan #blackslivematter menjadi viral di berbagai sosial media. Iya, memang tindakan yang dilakukan terhadap George Floyd salah, tidak adil, bahkan brutal. Tetapi, apakah tindakan menghakimi aparat kepolisian dengan berbagai demo dan kampanye yang berakhir rusuh merupakan suatu tindakan yang adil?
Apakah dengan adanya satu tindakan
salah yang diberitakan oleh media,
semua orang berhak menghakimi
yang bersalah itu? Bukankah berbagai
demo dan kerusuhan akibat kasus ini
justru mengakibatkan aneka tindakan
ketidakadilan lainnya? Di sinilah
terjadi kebingungan antara berusaha
menegakkan keadilan (suatu hal yang
baik) dengan menghakimi pihak yang
bersalah dan justru mengakibatkan
ketidakadilan lainnya.
Atau mungkin dalam ranah lebih
sempit, kita mengenal harsh
comment atau komentar-komentar
negatif yang besifat menghakimi,
merendahkan, bahkan melecehkan
pribadi yang hanya ingin mengupdate
media sosialnya. Apakah pribadi itu
melakukan ketidakadilan sehingga
layak dihakimi dan diberikan komentar
negatif? Atau yang lebih menarik kita
bisa bertanya apa yang ada di pikiran
orang pemberi komentar itu sebelum
mengomentari postingan tersebut?
Jadi teringat kata teman saya,
“Kalau mau melihat kebebasan
berpendapat di Indonesia, lihatlah
komentar-komentar di media sosial.”
Lantas teman tersebut menunjukkan
satu postingan dari selebgram
wanita cantik yang berisikan banyak
komentar sungguh menghakimi dan
merendahkan pribadi selebgram
tersebut
Jebakan dalam Menghakimi
Tentu kita perlu melihat secara
lebih detail tindakan menghakimi itu
seperti apa, tujuannya untuk apa, dan
bagaimana tindakan tersebut. Kita
percaya bahwa tindakan menghakimi
yang dilakukan oleh lembaga
peradilan atau pemerintahan pasti
adalah tindakan yang adil. Meskipun
dalam beberapa kasus tetap bisa
menjadi perdebatan. Inilah rumitnya
mengusahakan keadilan dalam dunia
yang begitu luas dengan berbagai
pandangan dan pikiran manusia di
dalamnya. Maka, kita mencoba untuk
lebih berfokus kepada masing-masing
pribadi manusia. Apakah tindakan
menghakimi yang mungkin pernah
kita lakukan adalah tindakan yang adil?
Bagaimana mengukurnya? Bagaimana
menghakimi itu menghasilkan suatu
keadilan?
Paus Fransiskus pada tahun 2013,
pernah ditanya oleh reporter
mengenai pandangan Gereja terkait
kaum gay dan lesbi. Suatu pertanyaan
yang bersifat global dan perlu dijawab
dengan apa yang menjadi pandangan
Gereja Katolik. Paus Fransiskus
menjawab, “Bila seseorang itu gay
dan dia mencari Allah serta memiliki
kehendak yang baik, siapakah saya
untuk menghakimi (who am I to
judge)?”
Paus Fransiskus mengatakan hal
tersebut untuk memparafrase
apa yang menjadi isi dari ajaran
Katekismus Gereja Katolik bahwa
mereka perlu diperlakukan
dengan penuh perhatian dan tidak
dimarjinalisasikan. Inilah teladan Paus
Fransiskus yang berusaha untuk
bersikap adil tanpa perlu menghakimi
mereka yang mungkin pernah
melakukan tindakan salah.
Melalui hal tersebut, paus sendiri
menunjukkan kepada kita bagaimana
berlaku adil tanpa menghakimi orang
lain. Menjadi jelas apa yang perlu kita
hindari dalam tindakan menghakimi
adalah jebakan untuk mengerdilkan
orang lain atau mengganggap orang
lain lebih buruk daripada kita. Jebakan
itulah yang sering membuat kita
melakukan tindakan menghakimi yang berakhir pada mendiskriminasi, merendahkan, bahkan melecehkan pribadi yang lain. Dengan demikian, jebakan dari menghakimi inilah yang mengakibatkan tindakan menghakimi menjadi suatu tindakan yang tidak adil. Kita bisa melakukan tindakan tidak adil melalui pikiran, perkataan, dan komentar-komentar di media sosial kita. Jangan sampai tindakan menghakimi kita malah membuat kita melakukan tidak adil karena kita terjebak dalam sikap merendahkan orang lain tersebut
Lantas, tindakan menghakimi seperti
apa yang bisa membawa kita sampai
kepada tindakan yang adil bagi orang
lain?
Menghakimi Demi Terwujudnya
Keadilan
Menurut pendapat pribadi saya, sebenarnya ada dua hal yang bisa kita lakukan menyangkut sikap kita dalam menilai atau menghakimi orang lain. Yang pertama adalah mengingat bahwa kita tidak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Hmmm, sepertinya kita tidak begitu peduli. Tidak baik memang, tetapi hal itu jauh lebih baik dibandingkan menghakimi orang lain menurut pendapat pribadi kita. Karena menghakimi lebih sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif, maka tidak ada satu pun orang yang senang dinilai menurut pendapat orang lain yang buruk mengenai dirinya. Selain itu, kita tidak menjalani hidup dengan caranya, sehingga kita tidak pernah tau apa yang kita tuduhkan adalah benar.
Menurut pendapat pribadi saya, sebenarnya ada dua hal yang bisa kita lakukan menyangkut sikap kita dalam menilai atau menghakimi orang lain. Yang pertama adalah mengingat bahwa kita tidak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Hmmm, sepertinya kita tidak begitu peduli. Tidak baik memang, tetapi hal itu jauh lebih baik dibandingkan menghakimi orang lain menurut pendapat pribadi kita. Karena menghakimi lebih sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif, maka tidak ada satu pun orang yang senang dinilai menurut pendapat orang lain yang buruk mengenai dirinya. Selain itu, kita tidak menjalani hidup dengan caranya, sehingga kita tidak pernah tau apa yang kita tuduhkan adalah benar.
Yang kedua, jika kita bisa lebih bijak,
kita seharusnya dapat adil sejak
dalam pikiran. Kita tidak terburu-buru
menyimpulkan menurut pendapat
pribadi mengenai suatu sebab.
Dengan adil sejak dalam pikiran, kita
akan lebih melihat sesuatu dengan
cara yang baik. Kita mencari tahu
lebih dalam apa yang menyebabkan
sesuatu terjadi demikian, dan tidak
mudah menghakimi. Untuk itu, lebih
baik kita mulai mengingatkan diri
sendiri ketika hendak menilai orang
lain ataupun suatu hal yang terjadi.
Tidak perlu memunculkan kebencian
dengan terburu-buru menghakimi
orang lain. Setiap orang memiliki
alasan tertentu yang kita tidak pernah
tahu.
Terakhir dan yang paling penting,
selalu kita mengingat dan bertanya
sebelum melakukan tindakan
atau menilai orang lain, “Apa yang
sebaiknya saya lakukan, katakan, atau
berikan komentar terhadap orang lain
sehingga situasi menjadi lebih adil dan
manusiawi?” Dengan pertanyaan ini,
kita akan terbantu untuk tidak jatuh
kepada jebakan dari menghakimi dan
bisa melakukan tindakan adil kepada
semua orang bahkan yang mungkin
pernah melakukan tindakan salah.
Kisah Xi Jinping
Disebutkan bahwa Presiden Xi Jinping
dari Tiongkok pernah berkisah:
Ketika saya masih kecil, saya sangat
egois, selalu mengambil yang terbaik
untuk diri saya sendiri. Perlahan-lahan,
semua orang meninggalkan saya dan
saya tidak punya teman. Saya tidak
berpikir itu salah saya tetapi saya
mengkritik dan menyalahkan orang
lain.
Ayah saya memberi saya tiga kalimat
untuk membantu saya dalam hidup.
Suatu hari, ayah saya memasak dua
mangkuk mie dan meletakkan dua
mangkuk di atas meja. Satu mangkuk
hadir dengan satu telur di bagian
atas mie dan mangkuk lainnya tidak
memiliki telur di atasnya.
Ayah berkata, "Anakku, silakan kamu
pilih mangkuk mana yang kamu
inginkan."
Telur sulit didapat saat itu! Hanya
bisa makan telur selama festival atau
Tahun Baru. Tentu saja saya memilih
mangkuk dengan telur! Saat kami
mulai makan. Saya mengucapkan
selamat kepada diri saya sendiri atas
pilihan dan keputusan bijak yang saya
lakukan dan mendapatkan telur itu.
Lalu saya terkejut ketika ayah saya
makan mie, ada dua telur di bawah
mangkuknya, tersembunyi di bagian
bawah mie! Saya sangat menyesal!
Dan memarahi diri saya sendiri karena
terlalu terburu-buru dalam mengambil
keputusan.
Ayah saya tersenyum dan iba kepada
saya, “Anakku kamu harus ingat apa
yang dilihat matamu mungkin tidak
benar. Jika kmu berniat mengambil
keuntungan dari orang-orang, kamu
akan berakhir dengan kekalahan.”
Keesokan harinya, ayah saya kembali
memasak dua mangkuk mie: satu
mangkuk dengan telur di atasnya
dan mangkuk lainnya tanpa telur di
atasnya.
Sekali lagi, dia meletakkan
dua mangkuk di atas meja dan berkata
kepada saya, "Anakku, silakan pilih
mangkuk mana yang kamu inginkan?"
Kali ini saya lebih pintar. Saya memilih
mangkuk tanpa telur di atasnya.
Yang mengejutkan saya, saat saya
memisahkan mie di atas, tidak ada
satu pun telur di dasar mangkuk!
Sekali lagi ayah saya tersenyum dan
berkata kepada saya, “Anakku, kamu
tidak harus selalu bergantung pada
pengalaman, karena kadang-kadang,
hidup dapat mengecohmu atau menipu
kamu. Tetapi kamu tidak boleh terlalu
jengkel atau bersedih. Kamu hanya
perlu memperlakukan hal ini sebagai
pengetahuan yang kamu dapat dari
proses pembelajaranmu.”
Hari ketiga, ayah saya lagi memasak
dua mangkuk mie. Satu mangkuk
dengan telur di atas dan mangkuk
lainnya tanpa telur di atasnya. Dia
meletakkan dua mangkuk di atas meja
dan kembali berkata kepada saya
sebagaimana sebelumnya.
Kali ini, saya bilang kepada ayah,
"Ayah, kamu pilih dulu. Ayah adalah
kepala keluarga dan berkontribusi
paling banyak kepada keluarga." Ayah
saya tidak menolak dan memilih
mangkuk dengan satu telur di atasnya.
Saat saya makan semangkuk mie
saya, di hati saya berkata pasti tidak
ada telur di dalam mangkuk. Yang
mengejutkan saya! Ada dua telur di
dasar mangkuk. Ayah saya tersenyum
kepada saya dengan cinta di matanya,
“Anakku kamu harus ingat! Ketika
kamu berpikir untuk kebaikan orang
lain, maka hal-hal baik akan selalu
terjadi pada dirimu.”
Kisah ini mengajarkan kita untuk
bersikap adil kita hanya perlu berpikir
untuk kebaikan orang lain. Entah
dalam rangka kita sedang membela
keadilan, menghakimi orang lain, atau
dalam berinteraksi dengan orang lain
dalam kehidupan sehari-hari.
0 Response to "Adil Tanpa Menghakimi"
Posting Komentar
Mohon berkomentar secara bijaksana, bersudut pandang positif dan menyertakan identitas di akhir komentar (walaupun fasilitas komentar tanpa nama). Satu lagi mohon tidak meninggalkan komentar spam !
Terima Kasih | Tim KOMSOS St. Albertus Agung Kota Harapan Indah