COVIT ( Christus Omnia Vincit )
Jumat, 01 Mei 2020
Add Comment
Sekilas mendengar judulnya kok jadi seram ya, COVIT, apalagi di tengah pandemi yang berlangsung. Namun judul itu bukanlah virus yang sedang melanda dunia. Covit jika dipanjangkan menjadi Christus Omnia Vincit, artinya Kristus menaklukan segalanya. Judul ini saya ambil dari tulisan Paus Sixtus ke V, lengkapnya Christus Vincit, Regnat, Imperat yang memiliki arti Kristus Menaklukkan, Menguasai, Memerintah. Tulisan ini diukir oleh Paus Sixtus V di sebuah monumen ditengah lapangan Santo Petrus di Roma. Saya merasa judul ini pas sekali dengan situasi kita di tengah pandemi yang belum kunjung henti. Sebab iman kita memberi harapan bahwa Kristus akan menaklukan segalanya (Christus Omnia Vincit), termasuk wabah ini, si COVID-19.
Efek COVID 19 memang dahsyat menutup pintu Gereja, pintu pabrik, pintu mall, pintu bioskop, bahkan pintu rumah kita. Dan masih banyak lagi pintu-pintu yang lainnya yang sudah tertutup. Tapi dengan tulisan ini saya berharap ada satu pintu yang masih terbuka, dan yang tidak boleh kita tutup, yaitu pintu hati kita untuk mendengarkan Dia yang bersabda. Karena sabda-Nya yang kita imani akan memberi kita harapan bahwa COVID akan dikalahkan oleh COVIT (Christus Omnia Vincit)1.
minggu itu, pergilah Maria
Magdalena dan Maria yang
lain, menengok kubur itu”
(28:1).
Laporan cuaca di awal ini
memberi suasana pada
masing-masing kisah yang
ditulis. Pada peristiwa
wafat Kegelapan (skotov)
melambangkan sesuatu
yang jahat, alam maut,
kesuraman, tanpa harapan.
Sedangkan pada kisah
kebangkitan kata Fajar
(epifwskw) melambangkan
harapan baru.2
Kedua, kata gempa bumi.
Dalam kisah wafat-Nya,
kata gempa bumi ditulis
demikian,”lihatlah, tabir
Bait Suci terbelah dua
dari atas sampai ke bawah
dan terjadilah gempa
bumi, dan bukit-bukit
batu terbelah” (27:51).
Sedangkan dalam kisah
kebangkitan, gempa bumi ditulis demikian, “Maka
terjadilah gempa bumi
yang hebat sebab seorang
malaikat Tuhan turun dari
langit dan datang ke batu
itu dan menggulingkannya
lalu duduk di atasnya”
(28:2).
Jika kita lihat pada saat wafat-Nya, gempa bumi diikuti dengan kehancuran bukit-bukit, batu-batu dan bait suci terbelah dua. Nampak betul gambaran suasana kegelapan dan gempa bumi yang mencekam dan membawa kehancuran. Sedangkan pada kisah kebangkitan, gempa bumi tidak diikuti kehancuran melainkan kedatangan seorang utusan Allah yaitu Malaikat. Ia menggulingkan batu penutup kubur Yesus.
Santo Matius mau mengajak kita untuk merenung dan melihat sesuatu yang tak kasat mata, yaitu kuasa Allah melalui utusan-Nya telah menggulingkan kegelapan yang mencekam yang dilambangkan dengan batu penyumbat kubur. Kubur yang tadinya diliputi kegelapan karena tertutup oleh batu, kini setelah terguling dimasuki cahaya menjadi terang.
Ketiga, kata takut. Kedua kata ini ada dalam kisah Wafat-Nya dan Kebangkitan-Nya. Kalau dalam kisah wafat-Nya ditulis demikian, “Kepala pasukan dan prajuritprajuritnya yang menjaga Yesus sangat takut ketika mereka melihat gempa bumi dan apa yang telah terjadi” (27:54). Kata takut dalam kisah ini diberi penekanan sangat. Hal ini melukiskan suasana kegelapan mencekam yang membuahkan ketakutan bagi orang yang menyaksikanya termasuk para prajurit.
Sedangkan dalam kisah kebangkitan-Nya dituliskan demikian.“Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuanperempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit” (28:5-6). Kata yang ditulis adalah jangan takut, bukan sangat ketakutan. Kata jangan takut yang disampaikan malaikat
diri di dalam rumah diliputi
ketakutan, kecemasan,
kecewa dan ada yang putus
harapan. Dari kisah ini kita
pun dapat merenung jika
Tuhan sudah menampakkan
kuasa-Nya seperti diatas,
apakah kita masih ragu,
khawatir dan cemas?
Sekarang kita beralih kepada penginjil Yohanes. Yohanes sebagai saksi peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus menulis kisah kebangkitan dan penampakan pada Yoh 20:1-10. Dalam kisah ini saya akan mengajak saudara-saudari untuk melihat bagaimana tipe-tipe tokoh dalam mengimani kebangkitan Tuhan.
Tokoh pertama adalah Maria Magdalena. Ia datang pagi-pagi ketika hari masih gelap ke kubur Tuhan Yesus. Namun ia mendapati bahwa batu telah diambil dari kubur (20:1). Kubur tersebut berupa gua dan pintunya ditutup dengan batu besar. Maria Magdalena belum masuk ke dalam kubur. Ia hanya melihat dari depan, bahwa batu penutup sudah tidak ada.
Dengan pengamatan seperti itu ia langsung menyimpulkan bahwa jenazah Tuhan Yesus dicuri orang. Ia melaporkan kepada Petrus dan murid yang dikasihi, katanya “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan” (20:2). Tipe Magdalena, sangat reaktif. Belum menelaah, namun cepat menyimpulkan dengan emosional dan menuduh, Tuhan telah diambil orang.
Tokoh kedua adalah Petrus. Petrus yang mendengar berita tersebut lari cepatcepat dan menuju kubur. Ia selangkah lebih maju dibandingkan Maria Magdalena. Ia tidak hanya ada di depan kubur, tetapi ia masuk ke dalam kubur gua itu. Dituliskan demikian “Maka datanglah Simon Petrus juga menyusul dia dan masuk ke dalam kubur itu. Ia melihat kain kafan terletak di tanah” (20:6). Ia melihat bukan saja batu yang terguling, tetapi kain kafan pembungkus jenazah ada, sedangkan tubuh Tuhan Yesus tidak ada.
Tetapi, walaupun Petrus sudah selangkah lebih maju dari Maria magdalena, ia masih kebingungan untuk meyakini kebangkitan Tuhan saat itu. Walaupun petunjuk duniawi yang terlihat sudah banyak, tapi membuatnya “mentok” dan tidak mengantarkan Petrus sampai pada kepercayaan akan Kebangkitan Kristus. Tipe seperti ini adalah tipe yang hanya mengandalkan petunjuk-petunjuk duniawi yang terlihat, namun tidak mencari petunjuk lain dari yang rohani, yang tak kasat mata, yang harus dilihat bukan dengan bola mata, tetapi dengan mata batin, yaitu sang Ilahi yang bersabda.
Tokoh ketiga, adalah murid yang dikasihi. Istilah murid yang dikasihi sebenarnya mau menyebut nama dari Yohanes, sang penulis Injil3. Ia menjenguk ke dalam, dan melihat kain kafan terletak di tanah; akan tetapi ia tidak masuk ke dalam (20:5). Yohanes sama seperti Petrus, melihat petunjuk-petunjuk duniawi seperti batu yang terguling, kain kafan dan makam yang kosong.
Namun yang membuatnya selangkah lebih maju dibanding Petrus yaitu bahwa ia tidak hanya melihat petunjuk-petunjuk duniawi yang terlihat secara indrawi tersebut, tetapi ia melihat dengan mata batin sang Ilahi yang bersabda.
Hal ini ia sampaikan dalam Injilnya ”selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit” (20:9). Dengan kata lain, Yohanes ingin menyampaikan bahwa mereka (Yohanes dan Maria Magdalena) tidak melihat petunjuk rohani dalam kitab suci, yang mengatakan Tuhan Yesus harus bangkit. Yohanes melihat petunjuk rohani, isi kitab suci, yaitu sang Ilahi yang berbicara. Maka ia menegaskan dalam Injilnya, “ia melihatnya dan percaya” (20:8).
Yohanes tidak hanya mengandalkan pada petunjuk duniawi: batu yang terguling, kain kafan yang tergeletak dan makam yang kosong. Ia percaya akan isi kitab suci yang mengatakan Tuhan bangkit. Inilah kesimpulan imannya. Tipe seperti Yohanes inilah yang ideal.
Marilah sekarang kita berandai-andai, membayangkan kisah 2000 tahun yang lalu namun tidak perlu memejamkan mata, nanti tidak habis dibaca tulisan ini. Nah, jika anda ikut masuk dalam kisah di atas menyaksikan kebangkitan Tuhan, kira kira anda termasuk tipe yang mana? jujur ya.
Jika kita masukkan dalam konteks situasi wabah pandemi ini, seolah kita ditanya jika Kristus mampu mengalahkan kegelapan, Ia bangkit dari maut, mengapa kita masih ragu, cemas dan tak ada harapan? Jika masih seperti ini kita mungkin masih dalam tipe Maria Magdalena. Kita mungkin sering reaktif, baru sedikit mengamati situasi pandemi sudah cepat menilai bahkan menyalahkan Tuhan yang tak kunjung membantu, dan seolah tak berdaya.
Atau mungkin kita seperti Petrus yang lebih dalam mengamati dan mencari petunjuk-petunjuk bagaimana situasi ini akan berakhir, namun mentok hanya sampai pada petunjuk duniawi saja yang bisa dicerap oleh indrawi. Kita harus selangkah lebih maju lagi, seperti Yohanes dalam menghadapi situasi pandemi ini. Tidak hanya petunjuk duniawi tetapi mendengar sapaan yang Ilahi lewat sabda-Nya. Sabda inilah suara Kristus yang meyakinkan kita akan kuasa-Nya yang mengalahkan segalanya (Christus Omnia Vincit - COVIT). Pada tipe Maria Magdalena dan Petrus, cahaya Fajar (kuasa Kristus) masih terhalang. Sebaliknya pada tipe Yohanes cahaya Fajar (kuasa Kristus) tak terhalang.
Cahaya Fajar Mengunjungi Bumi
Ketika para murid lamban menangkap kebangkitan Kristus, mereka mengunci diri di rumah dalam suasana ketakutan, kecemasan, bahkan ada yang pulang kampung karena kecewa. Namun Tuhan datang mengunjungi mereka seperti fajar yang mengunjungi bumi. Kali ini Yesus yang digelari COVIT, setelah mengalahkan kuasa maut dari kematian, kini ia harus mengalahkan kegelapan hati para murid yang lamban meyakini kebangkitan Kristus dan kuasa Ilahi. Terkadang, kegelapan diri sendiri memang musuh yang sulit untuk kita kalahkan.
Kunjungan Yesus dimulai kepada para murid yang sedang me-lockdown diri mereka di rumah. Suasana hati yang bisa kita bayangkan adalah ketakutan akan ditangkap sebagai pengikut Kristus. Sedih dan shock karena guru yang mereka kagumi wafat dengan cara tragis dan meninggalkan mereka. Mereka bahkan ada yang kecewa dan pulang kampung ke Emaus.
Pada injil Yohanes bab 20:19-23, dikisahkan Yesus menjumpai para murid yang mengunci diri di rumah. Walaupun mereka mendengar makam Tuhan Yesus kosong dan Maria Magdalena telah menyampaikan kepada mereka bahwa ia telah melihat Tuhan (Yoh 20:18), tetapi para murid masih belum percaya. Sekarang marilah kita bayangkan sejenak, jika kita sebagai seorang guru, kita menjumpai ada murid yang lamban menangkap dan ada pula murid yang cepat menangkap.
Bagaimana perasaan kita pada yang lamban? jengkel, kesal, dan mungkin marah. Tetapi sebagai guru yang baik hendaknya tetap membimbing dengan sabar. Nah, inilah yang terjadi dengan Tuhan Yesus. Ada murid yang cepat menangkap kebangkitan- Nya, seperti Yohanes. Adapula murid-murid lain yang lamban. Tetapi reaksi Tuhan Yesus sebagai guru yang baik dengan sabar Ia mendampingi. Ia mengunjungi mereka untuk meyakinkan, meneguhkan dan memulihkan harapan mereka. Ia mengucap “damai sejatera bagi kamu” sebanyak dua kali kepada mereka, pada ayat 19 dan 21. Kata tersebut ditekankan untuk menghapus satu kata ketakutan yang ditulis pada ayat 19. Tidak hanya itu, Ia pun menghembusi mereka dengan Roh Kudus (20:22). Kita ingat saat manusia pertama kali diciptakan dalam Kitab Kejadian. Allah menghembuskan nafas kehidupan (Kej 2:7).
Seolah dengan hembusan itu mereka diberikan nafas hidup beriman baru dari Roh Kudus, yang sebelumnya sudah tersengal-sengal oleh kegelapan hati mereka karena ketidakpercayaan. Namun di antara para murid yang lamban, ada pula yang lebih lamban. Namanya adalah Thomas. Ia absen saat Yesus menampakkan diri kepada temantemannya. Absen atau tidak hadir memang bukan bukti kelambanannya untuk percaya akan kebangkitan Tuhan. Tetapi lihatlah ia meminta tanda yang agak “ngeyel”. Ia mengatakan demikian “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (20:25).
Untuk membuktikan Tuhan sudah bangkit, Thomas tidak cukup seperti temanteman lainya yang melihat Tuhan Yesus dari hadapan mereka. Thomas butuh bukti yang orang Betawi bilang “eh buset dah”, yang membuat kita tercengang. Ia minta ditunjukan bekas luka dan mau mencolokan jari ke bekas luka tersebut. Luka biasanya ditutup dan diobati, tapi kok Thomas malah mau mencolokan jari ke bekas luka. Bukankah itu akan menambah luka Dia yang terluka.
Jika kita lihat pada saat wafat-Nya, gempa bumi diikuti dengan kehancuran bukit-bukit, batu-batu dan bait suci terbelah dua. Nampak betul gambaran suasana kegelapan dan gempa bumi yang mencekam dan membawa kehancuran. Sedangkan pada kisah kebangkitan, gempa bumi tidak diikuti kehancuran melainkan kedatangan seorang utusan Allah yaitu Malaikat. Ia menggulingkan batu penutup kubur Yesus.
Santo Matius mau mengajak kita untuk merenung dan melihat sesuatu yang tak kasat mata, yaitu kuasa Allah melalui utusan-Nya telah menggulingkan kegelapan yang mencekam yang dilambangkan dengan batu penyumbat kubur. Kubur yang tadinya diliputi kegelapan karena tertutup oleh batu, kini setelah terguling dimasuki cahaya menjadi terang.
Ketiga, kata takut. Kedua kata ini ada dalam kisah Wafat-Nya dan Kebangkitan-Nya. Kalau dalam kisah wafat-Nya ditulis demikian, “Kepala pasukan dan prajuritprajuritnya yang menjaga Yesus sangat takut ketika mereka melihat gempa bumi dan apa yang telah terjadi” (27:54). Kata takut dalam kisah ini diberi penekanan sangat. Hal ini melukiskan suasana kegelapan mencekam yang membuahkan ketakutan bagi orang yang menyaksikanya termasuk para prajurit.
Sedangkan dalam kisah kebangkitan-Nya dituliskan demikian.“Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuanperempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit” (28:5-6). Kata yang ditulis adalah jangan takut, bukan sangat ketakutan. Kata jangan takut yang disampaikan malaikat
Sekarang kita beralih kepada penginjil Yohanes. Yohanes sebagai saksi peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus menulis kisah kebangkitan dan penampakan pada Yoh 20:1-10. Dalam kisah ini saya akan mengajak saudara-saudari untuk melihat bagaimana tipe-tipe tokoh dalam mengimani kebangkitan Tuhan.
Tokoh pertama adalah Maria Magdalena. Ia datang pagi-pagi ketika hari masih gelap ke kubur Tuhan Yesus. Namun ia mendapati bahwa batu telah diambil dari kubur (20:1). Kubur tersebut berupa gua dan pintunya ditutup dengan batu besar. Maria Magdalena belum masuk ke dalam kubur. Ia hanya melihat dari depan, bahwa batu penutup sudah tidak ada.
Dengan pengamatan seperti itu ia langsung menyimpulkan bahwa jenazah Tuhan Yesus dicuri orang. Ia melaporkan kepada Petrus dan murid yang dikasihi, katanya “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan” (20:2). Tipe Magdalena, sangat reaktif. Belum menelaah, namun cepat menyimpulkan dengan emosional dan menuduh, Tuhan telah diambil orang.
Tokoh kedua adalah Petrus. Petrus yang mendengar berita tersebut lari cepatcepat dan menuju kubur. Ia selangkah lebih maju dibandingkan Maria Magdalena. Ia tidak hanya ada di depan kubur, tetapi ia masuk ke dalam kubur gua itu. Dituliskan demikian “Maka datanglah Simon Petrus juga menyusul dia dan masuk ke dalam kubur itu. Ia melihat kain kafan terletak di tanah” (20:6). Ia melihat bukan saja batu yang terguling, tetapi kain kafan pembungkus jenazah ada, sedangkan tubuh Tuhan Yesus tidak ada.
Tetapi, walaupun Petrus sudah selangkah lebih maju dari Maria magdalena, ia masih kebingungan untuk meyakini kebangkitan Tuhan saat itu. Walaupun petunjuk duniawi yang terlihat sudah banyak, tapi membuatnya “mentok” dan tidak mengantarkan Petrus sampai pada kepercayaan akan Kebangkitan Kristus. Tipe seperti ini adalah tipe yang hanya mengandalkan petunjuk-petunjuk duniawi yang terlihat, namun tidak mencari petunjuk lain dari yang rohani, yang tak kasat mata, yang harus dilihat bukan dengan bola mata, tetapi dengan mata batin, yaitu sang Ilahi yang bersabda.
Tokoh ketiga, adalah murid yang dikasihi. Istilah murid yang dikasihi sebenarnya mau menyebut nama dari Yohanes, sang penulis Injil3. Ia menjenguk ke dalam, dan melihat kain kafan terletak di tanah; akan tetapi ia tidak masuk ke dalam (20:5). Yohanes sama seperti Petrus, melihat petunjuk-petunjuk duniawi seperti batu yang terguling, kain kafan dan makam yang kosong.
Namun yang membuatnya selangkah lebih maju dibanding Petrus yaitu bahwa ia tidak hanya melihat petunjuk-petunjuk duniawi yang terlihat secara indrawi tersebut, tetapi ia melihat dengan mata batin sang Ilahi yang bersabda.
Hal ini ia sampaikan dalam Injilnya ”selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit” (20:9). Dengan kata lain, Yohanes ingin menyampaikan bahwa mereka (Yohanes dan Maria Magdalena) tidak melihat petunjuk rohani dalam kitab suci, yang mengatakan Tuhan Yesus harus bangkit. Yohanes melihat petunjuk rohani, isi kitab suci, yaitu sang Ilahi yang berbicara. Maka ia menegaskan dalam Injilnya, “ia melihatnya dan percaya” (20:8).
Yohanes tidak hanya mengandalkan pada petunjuk duniawi: batu yang terguling, kain kafan yang tergeletak dan makam yang kosong. Ia percaya akan isi kitab suci yang mengatakan Tuhan bangkit. Inilah kesimpulan imannya. Tipe seperti Yohanes inilah yang ideal.
Marilah sekarang kita berandai-andai, membayangkan kisah 2000 tahun yang lalu namun tidak perlu memejamkan mata, nanti tidak habis dibaca tulisan ini. Nah, jika anda ikut masuk dalam kisah di atas menyaksikan kebangkitan Tuhan, kira kira anda termasuk tipe yang mana? jujur ya.
Jika kita masukkan dalam konteks situasi wabah pandemi ini, seolah kita ditanya jika Kristus mampu mengalahkan kegelapan, Ia bangkit dari maut, mengapa kita masih ragu, cemas dan tak ada harapan? Jika masih seperti ini kita mungkin masih dalam tipe Maria Magdalena. Kita mungkin sering reaktif, baru sedikit mengamati situasi pandemi sudah cepat menilai bahkan menyalahkan Tuhan yang tak kunjung membantu, dan seolah tak berdaya.
Atau mungkin kita seperti Petrus yang lebih dalam mengamati dan mencari petunjuk-petunjuk bagaimana situasi ini akan berakhir, namun mentok hanya sampai pada petunjuk duniawi saja yang bisa dicerap oleh indrawi. Kita harus selangkah lebih maju lagi, seperti Yohanes dalam menghadapi situasi pandemi ini. Tidak hanya petunjuk duniawi tetapi mendengar sapaan yang Ilahi lewat sabda-Nya. Sabda inilah suara Kristus yang meyakinkan kita akan kuasa-Nya yang mengalahkan segalanya (Christus Omnia Vincit - COVIT). Pada tipe Maria Magdalena dan Petrus, cahaya Fajar (kuasa Kristus) masih terhalang. Sebaliknya pada tipe Yohanes cahaya Fajar (kuasa Kristus) tak terhalang.
Cahaya Fajar Mengunjungi Bumi
Ketika para murid lamban menangkap kebangkitan Kristus, mereka mengunci diri di rumah dalam suasana ketakutan, kecemasan, bahkan ada yang pulang kampung karena kecewa. Namun Tuhan datang mengunjungi mereka seperti fajar yang mengunjungi bumi. Kali ini Yesus yang digelari COVIT, setelah mengalahkan kuasa maut dari kematian, kini ia harus mengalahkan kegelapan hati para murid yang lamban meyakini kebangkitan Kristus dan kuasa Ilahi. Terkadang, kegelapan diri sendiri memang musuh yang sulit untuk kita kalahkan.
Kunjungan Yesus dimulai kepada para murid yang sedang me-lockdown diri mereka di rumah. Suasana hati yang bisa kita bayangkan adalah ketakutan akan ditangkap sebagai pengikut Kristus. Sedih dan shock karena guru yang mereka kagumi wafat dengan cara tragis dan meninggalkan mereka. Mereka bahkan ada yang kecewa dan pulang kampung ke Emaus.
Pada injil Yohanes bab 20:19-23, dikisahkan Yesus menjumpai para murid yang mengunci diri di rumah. Walaupun mereka mendengar makam Tuhan Yesus kosong dan Maria Magdalena telah menyampaikan kepada mereka bahwa ia telah melihat Tuhan (Yoh 20:18), tetapi para murid masih belum percaya. Sekarang marilah kita bayangkan sejenak, jika kita sebagai seorang guru, kita menjumpai ada murid yang lamban menangkap dan ada pula murid yang cepat menangkap.
Bagaimana perasaan kita pada yang lamban? jengkel, kesal, dan mungkin marah. Tetapi sebagai guru yang baik hendaknya tetap membimbing dengan sabar. Nah, inilah yang terjadi dengan Tuhan Yesus. Ada murid yang cepat menangkap kebangkitan- Nya, seperti Yohanes. Adapula murid-murid lain yang lamban. Tetapi reaksi Tuhan Yesus sebagai guru yang baik dengan sabar Ia mendampingi. Ia mengunjungi mereka untuk meyakinkan, meneguhkan dan memulihkan harapan mereka. Ia mengucap “damai sejatera bagi kamu” sebanyak dua kali kepada mereka, pada ayat 19 dan 21. Kata tersebut ditekankan untuk menghapus satu kata ketakutan yang ditulis pada ayat 19. Tidak hanya itu, Ia pun menghembusi mereka dengan Roh Kudus (20:22). Kita ingat saat manusia pertama kali diciptakan dalam Kitab Kejadian. Allah menghembuskan nafas kehidupan (Kej 2:7).
Seolah dengan hembusan itu mereka diberikan nafas hidup beriman baru dari Roh Kudus, yang sebelumnya sudah tersengal-sengal oleh kegelapan hati mereka karena ketidakpercayaan. Namun di antara para murid yang lamban, ada pula yang lebih lamban. Namanya adalah Thomas. Ia absen saat Yesus menampakkan diri kepada temantemannya. Absen atau tidak hadir memang bukan bukti kelambanannya untuk percaya akan kebangkitan Tuhan. Tetapi lihatlah ia meminta tanda yang agak “ngeyel”. Ia mengatakan demikian “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (20:25).
Untuk membuktikan Tuhan sudah bangkit, Thomas tidak cukup seperti temanteman lainya yang melihat Tuhan Yesus dari hadapan mereka. Thomas butuh bukti yang orang Betawi bilang “eh buset dah”, yang membuat kita tercengang. Ia minta ditunjukan bekas luka dan mau mencolokan jari ke bekas luka tersebut. Luka biasanya ditutup dan diobati, tapi kok Thomas malah mau mencolokan jari ke bekas luka. Bukankah itu akan menambah luka Dia yang terluka.
Tetapi sekali lagi sebagai
Guru yang baik, Tuhan
Yesus dengan sabar
menyapa, meneguhkan
dan meyakinkan Thomas.
Ia mengunjunginya dan
berkata “Taruhlah jarimu
di sini dan lihatlah tangan-
Ku, ulurkanlah tanganmu
dan cucukkan ke dalam
lambung-Ku” (20:27).
Akhirnya, kegelapan hati
Thomas yang membuatnya
terhalang untuk percaya
dikalahkan oleh Tuhan
Yesus. Ia pun percaya
seraya mengucap “Ya
Tuhanku dan Allahku”
(20:28).
Jika Thomas paling lamban sekarang ada yang sudah hopeless, yaitu dua murid dari Emaus. Kita dapat melihat kisahnya pada Lukas 24:13-35. Mereka tidak seperti murid-murid yang lain, stay at home, berkumpul di rumah, tetapi mereka mau pulang ke kampung halaman mereka. Sebab Tuhan Yesus yang mereka ikuti sudah wafat. Mereka mengungkapkan rasa hopeless tersebut kepada Tuhan Yesus yang mereka kira orang asing yang berjalam bersama mereka.“Kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (24:21).
Harapan mereka seolah punah karena junjungan mereka wafat disalib. Tuhan Yesus membuka kegelapan yang menghalangi ketidak percayaan mereka dengan cara yang unik. Ia menegur mereka denga sebutan “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” (24:25)
Mungkin kita terkejut kata bodoh diucapkan oleh Yesus, sedangkan kepada Thomas Ia sabar sekali walaupun sikapnya orang Sunda bilang “belegug maneh teh”. Kata bodoh (ἀνόητος)4 dalam teks Yunani dibaca anoetos. Kata itu tersebut juga mengartikan sebagai hampa, kekosongan, tak ada isi. Maka tindakan Yesus yang berikutnya adalah “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci” (24:27).
Ia mengisi kekosongan atau kehampaan mereka dengan isi kitab suci. Hati mereka pun mulai berkobar-kobar, tumbuh harapan dan semangat lagi sampai akhirnya mereka mengenali Tuhan Yesus yang menemani dalam perjalanan mereka tadi. Mereka pun tidak jadi pulang kampung dan kembali lagi kepada muridmurid yang lain. Lihatlah lagi-lagi Tuhan Yesus mengalahkan kegelapan hati murid-murid-Nya yang menghalangi mereka mengenali Dia yang bangkit.
Situasi kita di tengah pandemi saat ini sama dengan para murid. Kita berbagi rasa dengan mereka. Ada yang takut, marah, kecewa, gelisah, bosan, sampai hilang harapan. Dan mungkin di antara kita ada yang seperti Yohanes yang cepat menangkap, percaya dengan yakin bahwa Tuhan yang digelari Christus Omnia Vincit (Covit) mampu menaklukan wabah ini sehingga sudah dapat merasakan damai di hatinya.
Namun tidak sedikit pula di antara kita juga seperti para murid lain, yang lamban percaya akan kuasa-Nya yang mampu menaklukan segalanya, atau bahkan seperti Thomas yang mita bukti, atau dua murid Emaus yang sudah hopeless. Namun perlu kita ingat dalam cerita diatas Tuhan Yesus sendirilah yang mendatangi para murid. Ia pun akan mendatangi kita seperti sinar Fajar yang akan mengalahkan kegelapan hati kita yang masih lamban percaya akan kuasa-Nya.
Jika Thomas paling lamban sekarang ada yang sudah hopeless, yaitu dua murid dari Emaus. Kita dapat melihat kisahnya pada Lukas 24:13-35. Mereka tidak seperti murid-murid yang lain, stay at home, berkumpul di rumah, tetapi mereka mau pulang ke kampung halaman mereka. Sebab Tuhan Yesus yang mereka ikuti sudah wafat. Mereka mengungkapkan rasa hopeless tersebut kepada Tuhan Yesus yang mereka kira orang asing yang berjalam bersama mereka.“Kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (24:21).
Harapan mereka seolah punah karena junjungan mereka wafat disalib. Tuhan Yesus membuka kegelapan yang menghalangi ketidak percayaan mereka dengan cara yang unik. Ia menegur mereka denga sebutan “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” (24:25)
Mungkin kita terkejut kata bodoh diucapkan oleh Yesus, sedangkan kepada Thomas Ia sabar sekali walaupun sikapnya orang Sunda bilang “belegug maneh teh”. Kata bodoh (ἀνόητος)4 dalam teks Yunani dibaca anoetos. Kata itu tersebut juga mengartikan sebagai hampa, kekosongan, tak ada isi. Maka tindakan Yesus yang berikutnya adalah “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci” (24:27).
Ia mengisi kekosongan atau kehampaan mereka dengan isi kitab suci. Hati mereka pun mulai berkobar-kobar, tumbuh harapan dan semangat lagi sampai akhirnya mereka mengenali Tuhan Yesus yang menemani dalam perjalanan mereka tadi. Mereka pun tidak jadi pulang kampung dan kembali lagi kepada muridmurid yang lain. Lihatlah lagi-lagi Tuhan Yesus mengalahkan kegelapan hati murid-murid-Nya yang menghalangi mereka mengenali Dia yang bangkit.
Situasi kita di tengah pandemi saat ini sama dengan para murid. Kita berbagi rasa dengan mereka. Ada yang takut, marah, kecewa, gelisah, bosan, sampai hilang harapan. Dan mungkin di antara kita ada yang seperti Yohanes yang cepat menangkap, percaya dengan yakin bahwa Tuhan yang digelari Christus Omnia Vincit (Covit) mampu menaklukan wabah ini sehingga sudah dapat merasakan damai di hatinya.
Namun tidak sedikit pula di antara kita juga seperti para murid lain, yang lamban percaya akan kuasa-Nya yang mampu menaklukan segalanya, atau bahkan seperti Thomas yang mita bukti, atau dua murid Emaus yang sudah hopeless. Namun perlu kita ingat dalam cerita diatas Tuhan Yesus sendirilah yang mendatangi para murid. Ia pun akan mendatangi kita seperti sinar Fajar yang akan mengalahkan kegelapan hati kita yang masih lamban percaya akan kuasa-Nya.
Pertanyaan singkat sebelum
mengakhiri tulisan ini.
Jika kita diperlihatkan
bukti oleh para penginjil
bahwa Christus Omnia
Vincit, Kristus menaklukan
segalanya. Ia menaklukan
kegelapan maut dengan
kebangkitan-Nya dan ia
mengalahkan kegelapan
hati para murid, masihkah
kita lamban untuk percaya?
jika masih, jangan
khawatir. Seperti
pengalaman para murid di
atas, Ia akan mengunjungi
dan meneguhkan kembali
harapan kita. Maka bukalah
mata batin kita.
Semoga pada peringatan Pentakosta, dimana para rasul sudah keluar dari rumah untuk mewartakan, kita pun sudah bisa keluar dari rumah untuk merayakan Ekaristi. Salam COVIT.
Semoga pada peringatan Pentakosta, dimana para rasul sudah keluar dari rumah untuk mewartakan, kita pun sudah bisa keluar dari rumah untuk merayakan Ekaristi. Salam COVIT.
Penulis : Romo Yustinus Kesaryanto, Pr & Publisher : Hery WW. - Tim PARPOL [Partisipan Pelayan Online] Paroki Harapan Indah Bekasi
0 Response to "COVIT ( Christus Omnia Vincit )"
Posting Komentar
Mohon berkomentar secara bijaksana, bersudut pandang positif dan menyertakan identitas di akhir komentar (walaupun fasilitas komentar tanpa nama). Satu lagi mohon tidak meninggalkan komentar spam !
Terima Kasih | Tim KOMSOS St. Albertus Agung Kota Harapan Indah