“Persetubuhan”
Minggu, 04 Oktober 2015
Add Comment
4 Oktober 2015 Hari Minggu Biasa XXVII
"Barangsiapa menceraikan
isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya
itu. Jika si isteri menceraikan suaminya
dan kawin dengan laki-laki lain,
ia berbuat zinah" (Mk 10:11-12)
Hingga saat ini sangat jarang (kalau tidak mau dibilang
“tidak pernah”) menjadi bahan permenungan, baik lisan maupun tulisan:
“persetubuhan” (mungkin dianggap tabu). Tatkala surfing, menjadi sulit memberi batasan pengertian tentang
“persetubuhan” atau “bersetubuh”. Dalam pengertian umum, bersetubuh (yang juga
dikenal dengan “bersanggama”) dimengerti sebagai hubungan antara dua alat
kelamin yang berbeda. Di tengah arus peluruhan makna perkawinan, persetubuhan
terasa makin dipinggirkan pada pencarian kenikmatan semata. Hubungan seks tidak
lagi di dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh lagi hubungan seks merelativir
ikatan perkawinan yang seharusnya menjadi pintu gerbangnya.
Berhubungan dengan para pemuka agama Yahudi, Yesus berhadapan
dengan tatanan masyarakat yang mengacu pada hokum Taurat Musa. Salah satunya
adalah perceraian. Yesus mengembalikan pada sifat hakiki perkawinan.
Sebagaimana dalam Kitab Taurat Musa, perkawinan merupakan “ikatan” dua pribadi
sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu (cf. Kej 2:24; Mk 10:6-9).
Perkawinan merupakan ikatan ilahi, tidak semata ikatan personal-sosial-yuridis
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Mk 10:9).
Namun orang Farisi (yang tentunya hafal di luar kepala Hukum
Taurat Musa) mengatakan, “Musa member ijin untuk menceraikannya dengan membuat
surat cerai” (Mk 10:4). Di hadapan para muridNya Yesus menjelaskan akar
permasalahan dari “surat cerai” tersebut, yakni perzinahan (Mk 10:10-12). Baik
seorang suami maupun seorang isteri yang bersetubuh bukan dengan pasangannya
(yang sah), ia berbuat zinah (tampaknya tidak sekadar “Nikah”). Lepas dari
konsekuensi social-yuridis, persetubuhan tidak bisa dipisahkan dari ikatan
perkawinan. Lebih dari itu, Yesus menegaskan bahwa ikatan perkawinan merupakan
ikatan ilahi. Ikatan perkawinan bukanlah ikatan manusiawi, tetapi sungguh Allah
sendirilah yang menghendakinya (Mk 10:9).
Bagi Gereja, ikatan perkawinan menampakan secara nyata ikatan
antara Allah dan umat manusia. Sebagaimana seorang laki-laki dan seorang
perempuan, Allah dan umat manusia saling mengikatkan diri dalam perjanjian.
Konsekuensi pada persetubuhan kiranya jelas. Hubungan ini bersifat eksklusif
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tidak ada pribadi lain yang
terlibat di dalam hubungan ini. Seandainya ada pribadi lain, maka tidak sekadar
melanggar kehendak Allah, tapi sungguh melawannya. Perzinahan membawa
konsekuensi yang sungguh berat di dalam hubungan yang khas dan eksklusif ini.
Bukankah demikian?
By Slamet Harnoto
0 Response to "“Persetubuhan”"
Posting Komentar
Mohon berkomentar secara bijaksana, bersudut pandang positif dan menyertakan identitas di akhir komentar (walaupun fasilitas komentar tanpa nama). Satu lagi mohon tidak meninggalkan komentar spam !
Terima Kasih | Tim KOMSOS St. Albertus Agung Kota Harapan Indah